Makalah Memahami Peranti Pilihan
Kata
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Penyuntingan
Dosen Prof. Dr. Jumadi, M.Pd.
Oleh
Kelompok 7
Silvia Ronauli S NIM A1B113236
Rika Marsela NIM A1B113216
Vidia Oktabelasari NIM A1B113054
Rika Marsela NIM A1B113216
Vidia Oktabelasari NIM A1B113054
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2016
BAB II
PEMBAHASAN
Peranti Pilihan Kata
1.
Makna
Denotatif
Peranti
pilihan kata atau diksi yang pertama-tama harus dikuasai oleh siapa pun yang
berkecimpung dalam hal-ikwal tulis-menulis atau karang-mengarang adalah masalah
makna denotasi. Makna denotasi itu lazimnya hadir lantaran tidak adanya makna
tambahan pada sebuah kata. Jadi, makna
denotasi itu, sesungguhnya menunjuk pada makna yang sebenarnya, bukan makna
yang sifatnya kiasan, dan bukan pula makna yang sifatnya kontekstual. Jadi
dapat ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan denotasi adalah makna yang tidak mengandung
tambahan makna atau perasaan tambahan sedikit pun. Menafsirkan makna denotasi
juga tidak perlu memperhitungkan konteks situasi pemakaiannya. Itulah kenapa
dikatakan bahwa makna denotasi bukanlah makna kontekstual, tetapi cenderung
konseptual. Adapun sebutan-sebutan lain yang juga menunjuk pada makna denotasi
itu adalah sebagai berikut: makna denotasional, makna kognitif, makna
konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proporsional. Dalam
tulis-menulis atau karang-mengarang ilmiah, bentuk denotatif yang demikian ini
memang banyak digunakan. Alasannya, tulisan atau karangan ilmiah lazimnya
banyak bersentuhan dengan segala hal-ikhwal yang sifatnya objektif, tidak
subjektif, sesuai dengan kata dan fakta yang sebenarnya ada. Jadi, dalam karya
ilmiah sesungguhnya hanya sedikit sekali tersedia ruang yang dapat digunakan
untuk bermain asosiasi, bermain konteks, bermain konotasi. Nah, ternyata bukan
saja karya atau tulisan ilmiah yang dekat sekali dengan makna denotatif itu.
Berita-berita lempang yang terdapat di media massa, yang semuanya sangat
berdekatan dengan perilah data dan fakta yang sebenarnya itu, hampir pasti juga
menggunakan peranti-peranti diksi yang disebut sebagai peranti denotasi.
Berkenaan dengan penjelasan di atas itu, marilah kita lihat contoh pemakaian
berikut ini,
1. Kursi-kursi paling
depan di kelasku ditempati oleh anak-anak perempuan.
2. Orang
yang sudah dewasa dan matang akan selalu berperilaku dengan penuh kebijaksanaan.
Nah, dapat dilihat dengan jelas,
bahwa bentuk “kursi-kursi” dan betuk “kebijaksanaan” yang ada pada
kalimat-kalimat di atas itu, semuanya menunjuk pada makna sebenarnya. Kata
“kursi” dalam kalimat itu tentu saja selalu akan dimaknai sebagai “tempat
duduk”. Adapun bentuk “kebijaksanaan” selalu akan menunjuk pada “perilaku” atau
“tindakan” yang bersifat bijaksana. Dalam pemakaian bahasa Indonesia untuk
karang-mengarang, bentuk-bentuk yang sifatnya denotatif, bentuk-bentuk yang
menunjuk pada makna sesungguhnya demikian ini, banyak digunakan dalam tulisan-tulisan
atau karangan-karangan yang sifatnya faktawi atau yang berdasarkan data
sesungguhnya. Kata-kata seperti yang ditunjukkan di depan itu, harus semuanya
digunakan untuk menunjukkan makna yang sifatnya konseptual, bukan makna yang
sifatnya kontekstual. Bentuk-bentuk kebahasaan seperti disebutkan di atas itu
dipakai untuk menunjukkan maksud-maksud yang sifatnya tidak asosiatif , tetapi
maksud-maksud yang berdasar pada data dan fakta yang sebenarnya.
2.
Makna
Konotatif
Sangat
berbeda dengan makna denotasi atau makna konseptual yang sudah disampaikan di
bagian depan tadi, makna konotatif selalu bersifat asosiatif. Artinya pemaknaan sebuah bentuk
kebahasaan harus dikaitkan dengan asosiasi-asosiasi tertentu yang dimungkinkan
hadir di dalam proses pemaknaan itu. Kehadiran sebuah bentuk kebahasaan, sama
sekali tidak bisa dilepaskan dari konteksnya. Maka, makna konotatif itu sering
disebut juga sebagai makna kontekstual. Jadi, sebuah bentuk kebahasaan akan
dapat diartikan berbeda atau tidak sama, karena hadir pada konteks atau
lingkungan akusai yang tidak sama. Jadi sekali lagi harus ditegaskan, bahwa
bentuk kebahasaan yang demikian ini harus dikaitkan dengan asosiasi-asosiasi
tertentu, tidak dapat diartikan begitu saja sesuai dengan wujud kata atau wujud
frasanya. Di dalam masyarakat yang demikian ini juga dikenal banyak makna
asosiatif, makna konotatif, atau makna yang sifatnya kontekstual. Adapun contoh
dari bentuk-bentuk kebahasaan yang harus dimaknai secara kontekstual di dalam
bahasa Indonesia itu dapat ditunjukkan sebagai berikut.
1. Pemilu
legislatif yang lazimnya digunakan untuk memperebutkan kursi-kursi parlemen baru saja berlangsung.
2. Mahasiswa
veteran itu baru saja datang kepada dosen senior itu untuk meminta kebijaksanaan bagi nilai ujian akhirnya.
Nah,
dengan membandingkan bentuk “kursi” pada kalimat di atas itu dengan bentuk
“kursi” pada kalimat yang di bagian awal sudah disampaikan tadi, akan sangat
jelas bahwa “kursi” pada kalimat ini tidak bermakna “tempat duduk” tetapi
bermakna “kekuasaan” atau mungkin pula dapat dimaknai sebagai “kesempatan untuk
berkuasa”. Dari mana makna yang demikian itu dihadirkan? Jawabnya adalah dengan
cara mengasosiasikan pada konteks kalimatnya secara keseluruhan. Atau, dapat
pula dikatakan, makna yang demikian itu dihadirkan dari konteks situasinya
serta hal-hal lain yang mingkin sekali bertali-temali. Marilah sekarang kita
cermati bentuk kebahasaan yang kedua, yakin kata “kebijaksanaan”. Bentuk
kebahasaan ini jelas memiliki makna yang sangat berbeda pada kalimat yang terakhir
di atas itu dengan kalimat yang telah ditampilkan sebelumnya. Pada kalimat yang
pertama ditunjukkan tadi, bermakna “perilaku” atau “tindakan”, sedangkan
“kebijaksanaa” pada kalimat yang kedua bermakna “kemurahan”, dalam hal ini
adalah kemurahan dalam hal nilai ujian akhir.
3.
Makna
Bersinonim
Peranti
diksi atau pilihan kata yang selanjutnya, yang sangat penting dikuasai oleh
para peneliti, para penulis, dan para penyunting bahasa adalah ihwal sinonimi.
Di dalam banyak literatur linguistik, juga buku-buku tata bahasa di masa
lampau, didapatkan bahwa sebenarnya sinonim itu dapat dengan mudah dipahami
sebagai persamaan makna kata. Artinya pula, bentuk yang bersinonim itu
sebenarnya dapat menunjuk pada kata-kata yang mungkin sekali, berbeda
bentuknya, berbeda ejaannya, berbeda pengucapannya, berbeda bentuk
ortografisnya, tetapi memiliki makna yang sejajar, memiliki makna yang sepadan,
atau memiliki makna yang serupa. Maka, kata yang bersinonim juga dapat berarti
kata yang bermakna sejenis, bermakna sepadan, bermakna sejajar, bermakna
serumpun, dan memiliki arti yang sama. Memang sejumlah linguis tidak dapat
menyetujui keberadaan entitas sinonim, karena dalam pemahaman mereka, ikon atau
simbol kebahasaan yang tidak sama atau berbeda, pasti digunakan untuk menandai
makna kebahasaan yang juga tidak sama atau berbeda. Artinya pula, dalam
pandangan mereka, tidak mungkin ada kata yang benar-benar sama. Dengan secara
ekstrem kemudian dapat dikatakan pula, bahwa sesungguhnya tidak pernah ada kata
atau frasa yang maknanya persis sama. Akan tetapi, banyak pula ahli bahasa yang
dapat menyetujui keberadaan kata-kata atau frasa-frasa bersinonim. Dalam
pemahaman mereka, sebuah bentuk kebahasaan akan dikatakan bersinonim apabila
memiliki makna yang sepadan, sejajar, sejenis, jadi makna itu tidak harus
selalu persis sama. Berkenaan dengan ini, kita ambil saja contoh, kata
“melihat”, “menatap”, “menonton”, “melirik”, “menyaksikan”, “mengawasi”.
Sekalipun kita mengerti bahwa kata-kata di atas itu tidak memiliki makna yang
persis sama, masing-masing memilki kesamaan raut atau fitur makna. Kesamaannya
adalah bahwa semuanya memerantikan indera manusia yang disebut sebagai “mata”.
Hanya saja, mata itu diperantikan dengan gradasi kelebaran yang tidak sama
sehingga lahirlah kata-kata yang bersinonim itu. Mari kita ambil contoh, yang
lainnya, yakni: “memukul”, “menampar”, “menempeleng”, “menghantam”. Empat
bentuk kebahasaan itu dari sisi wujudnya jelas sekali tidak sama. Akan tetapi,
semuanya dapat dipersamakan atau disinonimkan, karena sesungguhnya
masing-masing memerantikan hal yang sama, yakni “tangan” manusia. Adapun yang
membedakan adalah “arah gerakan”, dan mungkin juga bentuk atau wujud dari
kepalan tangan yang digunakannya itu. Silakan dicermati pula kata-kata berikut
ini: “mati”, “tewas”, “gugur”, “wafat”, “meninggal”, dan “tutup usia”.
Bentuk-bentuk kebahasaan di atas itu juga diyakini merupakan sinonim karena
masing-masing menunjukkan fitur atau raut kebahasaan yang sama, yakni ihwal
“hilangnya nyawa”, makhluk hidup yang bernyawa. Nah, para penyunting bahasa,
para peneliti, dan para penulis umumnya harus benar-benar cermat dengan
kata-kata yang bersinonim atau sama arti yang demikian ini.
4.
Kata
Antonim
Berbeda
dengan yang disebutkan di depan, kata-kata berantonim menunjukkan kata-kata
yang memiliki makna yang tidak sama. Jadi memang sangat tidak sama dengan
kata-kata bersinonim yang menunjuk pada kata-kata atau frasa-frasa yang
memiliki makna yang sama, serupa, sejalan, atau sejenis, bentuk-bentuk antonim
menunjuk makna yang berlain. Rahardi (2007: 116-118) menunjukkan bahwa sebuah
bentuk kebahasaan akan dapat dikatakan berantonim kalau bentuk-bentuk
kebahasaan itu memiliki relasi antar makna yang wujud logisnya berbeda atau
bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, seperti bentuk “benci” dan
“cinta”, bentuk “panas” dan “dingin” bentuk “kaya” dan “miskin”. Nah, dalam
kerangka penyuntingan bahasa untuk tulis-menulis atau karang-mengarang,
wujud-wujud antonimi seperti ditunjukkan berikut ini dapat dipertimbangkan.
1.
Pertama
adalah antonimi jenis kembar.
Ini menunjuk
pada perbedaan di antara dua entitas kebahasaan, misalnya saja “jantan” dan
“betina”, “hidup” dan “mati”, “pria” dan “wanita” serta “bayi” dan “dewasa.
Ciri yang mendasar dari kehadiran antonimi yang bersifat kembar atau “dual”
yang demikian ini adalah bahwa kehadiran entitas yang satu pasti akan
meniadakan entitas kebahasaan yang satunya lagi. Dengan perkataan lain,
penyangkalan terhadap entitas kebahasaan yang satu, sesungguhnya akan
menegaskan keberadaan atau eksistensi bagi entitas kebahasaan yang satunya
lagi.
2.
Kedua
adalah antonimi bersifat jamak atau plural.
Pakar bahasa
tertentu menyebutnya sebagai antonimi yang berciri majemuk. Adapun yang menjadi
ciri pokok dari antonimi jenis jamak atau majemuk ini adalah bahwa
penegasan terhadap anggota tertentu,
akan mencakup penyangkalan atas setiap anggota lainnya secara terpisah. Nah,
antonimi yang demikian ini lazimnya sangat berkaitan dengan anggota-anggota
atau hiponimi dari sebuah kelas, misalnya kelas “logam”, kelas “tumbuhan”,
kelas “buah-buahan”, atau kelas-kelas lainnya. Jadi, dapat ditegaskan pula
bahwa antonimi jenis majemuk ini sesungguhnya menunjuk pada
penyangkalan-penyangkalan atas anggota-anggota dari kelas-kelas atau
kelompok-kelompok antonimi jensi kembar.
3.
Ketiga
adalah antonimi yang bersifat gradual.
Adapun
yang dimaksud antonimi gradual adalah antonimi yang merupakan penyimpangan dari
antonimi yang bersifat dual atau kembar seperti yang sudah disebutkan di bagian
depan. Kalu di dalam antonimi jenis kembar atau dual terdapat dikotomi antara
“kaya” dan “miskin”, di dalam antonimi yang bersifat gradual terdapat entitas
“setengah kaya”. Beberapa orang mungkin akan mengatakannya sebagai “lumayan
kaya” atau agak “kaya”. Demikian pula di antara dikotomi “bodoh” dan “pintar”
atau “pandai” terdapat entitas “setengah pintar” dan “agak pintar”, atau “agak
pandai”. Jadi variasi-variasi yang cerdas terdapat entitas-entitas antonimi
yang bersifat gradual demikian ini juga kiranya akan sangat penting diketahui oleh
para penulis, para peneliti, dan para penyunting bahasa.
4.
Jenis
antonimi yang keempat adalah antonimi jenis relasional.
Adapun
yang dimaksud antonimi jenis relasional adalah bahwa bentuk-bentuk kebahasaan
yang dianggap berantonim itu memiliki relasi yang menjadi kebalikan. Antara
“guru” dan “murid” misalnya saja, terdapat jenis antonimi yang bersifat
relasional itu. Demikian pula antara “ibu” atau “ayah” dan “anak-anak” terdapat
antonimi yang bersifat relasional itu. Jika Anda sebagai penulis atau penyunting
bahasa sangat kaya dengan contoh-contoh antonimi relasional demikian ini,
dipastikan karangan atau tulisan Anda akan menjadi sangat baik, menarik, dan
hidup.
5. Kata Berasa
Bahasa juga
sesungguhnya mempunyai citarasa. Citarasa bahasa yang demikian itu akan banyak
ditentukan oleh tingkat kepiawaian dan pengalaman dari si penutur atau si
penulisnya dalam meramu bumbu-bumbu masakannya dalam aktivitas berbahasa.
Bentuk-bentuk kebahasaan masing-masing memiliki nilai rasa yang tidak sama.
Semuanya adalah bentuk kebahasaan yang boleh digunakan, tetapi harus digunakan
secara tepat, cermat, dan harus sesuai dengan makna. Jadi, setiap bentuk
kebahasaan yang ditunjukkan di atas semuanya akan mengemban “nilai rasa”, dan
seorang penulis yang baik harus benar-benar paham dengan nilai-nilai rasa yang
tidak sama demikian ini.
6. Kata Konkret
Kata-kata konkret
adalah kata-kata yang menunjuk pada objek yang dapat dipilih, didengar,
dirasakan, diraba, atau dicium. Dengan
kata lain, kata konkret itu sesungguhnya adalah kata yang dapat diindra dengan
alat-alat indra manusia. Jika Anda sebagai orang yang selalu bergelut dengan
segala seluk-beluk bahasa, senantiasa rajin dalam mencatat kata-kata yang
sifatnya konkret di dalam keseharian,Anda pasti akan menjadi orang yang sangat
kaya dengan kata-kata yang dapat anda perantikan ketika harus membuat tulisan
atau karangan. Hal yang sama ketika Anda harus menyunting sebuah karya ilmiah
dan tulisan-tulisan lainnya. Para penyunting bahasa pasti sangat perlu untuk
melakukan aktivitas tersebut supaya karya atau tulisan yang disuntingnya
benar-benar kaya akan variasi kata. Contoh kata konkret: rumah, computer,
mobil, buku.
7. Kata Abstrak
Kata abstrak adalah
sebuah kata yang memiliki rujukan berupa konsep atau pengertian. Sesuai dengan
namanya kata abstrak lebih memerlukan pendalaman pemahaman, karena sifatnya
yang tidak nyata. Contoh kata abstrak: kaya, miskin, kesenian, kerajinan,
demokrasi, kemakmuran. Kata-kata abstrak sering digunakan untuk mengungkapkan
gagasan atau ide-ide yang cenderung lebih rumit. Kata-kata abstrak juga
cenderung lebih sukar dipahami maksud dan
maknanya.
8. Kata Umum
Kata umum adalah kata
– kata yang memiliki makna dan cakupan pemakaian yang lebih luas. Kata – kata
yang termasuk dalam kata umum disebut dengan hipernim. contoh kata umum:
membawa, melihat, unggas, buah-buahan, hewan ternak. Siapa pun yang
berkecimpung di dalam dunia tulis-menulis harus benar-benar memahami persoalan
kata umum ini.
9. Kata Khusus
Kata khusus adalah kata
– kata yang ruang lingkup dan cakupan maknanya lebih sempit, atau disebut juga
dengan hiponim. Contoh: menjinjing, memikul, jeruk, apel, mangga,
memandang, menatap, ayam, sapi, kambing. Dengan kata lain, sesungguhnya
kata-kata khusus merupakan jabaran dari kata-kata umum.
10. Kata Lugas
Dalam karang-mengarang
atau tulis menulis,lazimnya kata-kata yang sifatnya lugas itu menunjuk pada
kata yang bersifat langsung dalam menggambarkan konssep kebahasaan. Kata-kata
lugas itu berarti kata-kata yang bersifat tembak langsung (to the point), tegas,lurus,apa
adanya, dan merupakan kata-kata yang cenderung bersahaja.
Kata-kata yang lugas juga merupakan kata-kata yang ringkas,tidak merupakan
frasa panjang,dan tidak mendayu-dayu sifatnya dalam menggambarkan sebuah
konsep. Kunjana rahardi hendak menegaskan
bahwa semuanya ini kegunaanya sangat ditentukan oleh maksud atau tujuan dari
pemanfaatan bentuk kebahasaan itu. Kita ambil saja contoh ‘relokasi’ yang
mungkin sekali banyak dianggap sebagai kata yang tidak lugas karena fakta
lugasnya adalah ‘penggusuran’.
11. Penyempitan Makna
Masih dalam kerangka
pilihan kata atau diksi, perlu disampaikan pula disini ihwal penyempitan makna
kata. Sebuah kata atau entitas kebahasaan yang lain dikatakan akan mengalami
penyempitan makna apabila dalam kurun waktu tertentu maknanya bergeser dari
semula yang sifatnya luas kedalam makna yang cenderung lebih sempit atau
terbatas. Pemahaman ihwal penyempitan makna kata yang demikian ini juga sangat
penting diketahui dan diikuti oleh para penulis, para peneliti,dan para
penyunting bahasa, upaya mereka dapat dengan tepat memerantikan sebuah bentuk
kebahasaan sesuai dengan lingkungan
dan perkembangan zamannya.Kita ambil saja contoh kata ‘Pendeta’ yang semula
dimaknai ‘orang berilmu’ yang biasanya digambarkan dengan sosok yang tua kini
ternyata berubah dan banyak digunakan untuk menyebut seorang ‘pengkhotbah’
dalam agama Kristen. Nah, sekarang akan dikembangkan sendiri pemahaman ihwal
penyempitan makna demikian ini untuk semakin memahami diksi atau pilihan kata
dalam karang-mengarang atau tulis-menulis. Semakin anda menguasai banyak hal yang
bertali-temali dengan persoalan diksi atau pilihan kata,khususnya yang
berkaitan dengan ihwal penyempitan makna bentuk-bentuk kebahasaan yang demikian
ini,dipastikan bahwa Anda akan menjadi sosok yang semakin pintar dalam
melakukan pekerjaan tulis-menulis atau karang-mengarang.
12. Perluasan Makna
Pemahaman ihwal
perluasan makna kata juga sangat penting dan krusial dilakukan oleh para
penyunting bahasa. Demikian pula para penulis dan para peneliti, harus
benar-benar paham dengan masalah perluasan makna yang demikian ini. Suatu kata
akan dapat dikatakan mengalami perluasan makna apabila dalam kurun waktu
tertentu maknanya dapat bergeser dari yang semula sempit kemakna yang jauh
lebih luas dan variatif. Selain itu seiring dengan makna perluasan makna kata
itu pula, khalayak pemakaian juga pasti akan meningkat dari semula yang hanya
kalangan terbatas, tidak mencakup semua lapisan masyarakat,lalu menjadi lebih
luas bahkan sangat luas, hingga mencapai banyak kalangan dan lapisan.Sebagai
contoh untuk sekedar ilustrasi, pada masa lalu kata ‘ibu’ banyak didefinisikan
sebagai sosok wanita yang melahirkan atau mungkin wanita yang pernah
melahirkan. Akan tetapi sekarang, kata ‘ibu’
sudah menjadi kata yang umumuntuk wanita yang sudah
dewasa,sekalipun ia belum pernah melahirkan seorang anak.
13. Kata-kata Aktif
Pertama-tama harus
dipahami, bahwa kata-kata aktif sesungguhnya menunjuk pada kata-kata yang
cenderung banyak digunakan oleh banyak kalangan. Dalam pemakaian bahasa. Bentuk-bentuk kebahasaan yang pada awalnya bersifat
statis,tidak aktif,dapat berkembang dan berubah menjadi kata-kata yang dinamis
dan bersifat sangat aktif. Nah,sebuah bentuk kebahasaan memang dapat dibuat
aktif dengan cara pembuat ‘inovasi’. Atau dengan membuat penemuan dari semula
yang belum pernah ada menjadi benar-benar ada. Akan tetapi,suatu bentuk
kebahasaan dapat pula dibuat aktif dengan cara menyingkap atau mengusik kembali
bentuk kebahasaan yang sesungguhnya semua sudah pernah ada, tetapi karena
hal-hal tertentu,bentuk kebahasaan yang demikian itu tidak pernah digunakan
lagi secara aktif. Jadi, bentuk-bentuk kebahasaan yang demikian itu juga harus
dibangkitkan dan dihidupkan dalam rangka
membentuk kata-kata yang berciri aktif dan produktif. Demikian pula bentuk-bentuk kebahasaan yang
didengung-dengungkan oleh media massa baik cetak maupun elektronik, cenderung akan berubah menjadi bentuk
kebahasaan yang aktif sekalipun semula
tidak terlampau dikenal oleh publik. Berkaitan dengan hal ini coba kita lihat saja
kehadiran kata ‘terkini’ yang didalam media massa tertentu digunakan dengan
tanpa henti. Saya sebagai linguis pernah pula
menyampaikan masukan tentang bentuk kebahasaan yang digunakan secara keliru
tersebut. Akan tetapi, apa daya bentuk kebahasaan itu muncul terus hingga saat ini. Sekalipun
bentuk ‘terkini’ tersebut jelas-jelas keliru dari sisi kebahasaan tetapi karena banyak digunakan oleh mdia
massa, yang sudah barang tertentu dampak sosialnya sangat luas, jadilah bentuk
kebahasaan yang tidak benar itu menjadi bentuk kebahasaan yang aktif.
14. Bentuk-bentuk Idiomatis
Para penulis,peneliti,
dan penyunting bahasa harus benar-benar memahami bahwa bentuk idiomatis itu
memang ada pada semua bahasa. Bentuk idiomatis adalah bentuk-bentuk yang sudah
merupakan senyawa dari cenderung merupakan ungkapan baku dan standart. Karena
bentuk idiomatis demikian itu bersifat senyawa baku dan standart. Hubungan
antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya sangat dekat dan lekat.
Kedekatan dan kelekatan antar unsur demikian itulah yang menjadikan
pemisahan,pengurangan,dan penambahasan yang tidak dapat dilakukan terhadap
bentuk-bentuk idiomatis.
15.
Ungkapan Standar
Membedakan
bentuk-bentuk idiomatis yang sering disebut sebagai bentuk-bentuk senyawa, dan
ungkapan-ungkapan kebahasaan yang sifatnya khusus dan khas, seperti yang telah
diteliti dan dibukukan dalam bentuk kamus oleh J.S. Badudu. Kamus Ungkapan
tersebut telah telah diterbitkan oleh Penerbit Kompas Jakarta pada buku
tersebut Kunjana Rahardi menyampaikan contoh tersebut. Selanjutnya, pembaca, para peneliti, para penulis, dan
para penyunting bahasa, dipersilakan untuk memanfaatkan buku aslinya secara langsung
supaya dapat memilki pemahaman dan penguasaan ungkapan yang lebih baik.
Ungkapan
|
Makna
|
Mengadu
lidah
|
Bertengkar
|
Mengadu
nasib
|
Mencoba
peruntungan
|
Masuk
ke peraduannya
|
Terbenam
|
Batang
air
|
Sungai
|
Tanah
air
|
Negara
|
Air
muka
|
Wajah
|
Titik
air liurku
|
Timbul
selera
|
Berkering
air liur
|
Sia-sia
belaka
|
Kurang
ajar
|
Tidak
sopan
|
Salah
ajar
|
Salah
didik
|
Kehilangan
akal
|
Bingung
|
Lautan
budi tepian akal
|
Bijaksana
|
Panang
akal
|
Suka
berpikir
|
Akal
kancil
|
Kecerdikan
|
Alas
pengetahuan
|
Pengetahuan
dasar
|
Anak
akuan
|
Anak
angkat
|
Tidak
ambil pusing
|
Tidak
peduli
|
Berambil-ambilan
|
Kawin-mengawini
|
Ambil
marah
|
Gusar
|
Tidak
mengambil berat
|
Tidak
terlalu mengacuhkan
|
Anak
uang
|
Bunga
uang
|
Anak
dagang
|
Anak
perantau
|
Anak
rambut
|
Rambut
halus
|
Berlantas
angan
|
Berbuat
sesuka hati
|
Makan
angin
|
Menghirup
udara segar
|
Menggergaji
angin
|
Berjalan
zigzag
|
Terangin-angin
|
Didesasdesuskan
|
Negeri
atas angin
|
Negeri
di sebelah barat Indonesia
|
Mengeluarkan
angin
|
Kentut
|
Kereta
angin
|
Sepeda
|
Menanti
angin
|
Menanti
kesempatan
|
Angkat
topi
|
Memuji
|
Angkat
bicara
|
Berpidato
|
Surat
angkatan
|
Beslit
|
Wang
antaran
|
Mas
kawin
|
Bunga
api
|
Percikan
|
Bermain
api
|
Bermain
hal yang membahayakan
|
Kembali
pada asal
|
Mati
|
Asam
garam
|
Pengalaman
|
Mati-mati
ayam
|
Ayan
|
Tidur-tidur
ayam
|
Belum
tidur benar
|
Nah, dari contoh-contoh yang
disampaikannya tersebut, kelihatan sekali bahwa ungkapan-ungkapan di atas
hampir semuanya mengandung makna kiasan. Ungkapan-ungkapan yang disampaikan di
sini selalu mengandung makna yang sifatnya kiasan. J. S. Badudu menyebutkan,
bahwa dalam bahasa Indonesia, jumlah ungkapan-ungkapan itu lebih-kurang adalah
3.600 buah. Jadi, kalau para penyunting naskah menguasai bentuk-bentuk ungkapan
yang semuanya bermakna kiasan demikian ini, dipastikan bahwa tulisan atau karya
yang disuntingnya akan benar-benar menjadi karya yang sangat bagus.
16. Bentuk Serapan Asing
Menempatkan bentuk-bentuk serapan
asing sebagai salah satu peranti penting dalam penyuntingan bahasa untuk
tulis-menulis dan karang-mengarang. Tujuannya adalah, agar para penulis, para
peneliti, para penyunting bahasa diingatkan untuk selalu berusaha menggunakan
kata-kata yang memang sudah ada di dalam bahasa Indonesia, ketika berhadapan
dengan bentuk-bentuk asing. Kehadiran bentuk-bentuk dalam berbahasa asing yang
terus semakin menyeruak, berpotensi untuk semakin mengacaukan pemakaian bahasa
Indonesia kalau tidak disikapi dengan benar-benar baik. Nah, beberapa contoh
bentuk serapan asing yang diambil dari Kamus
Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Kompas Jakarta pada 2005 berikut ini
diharapkan dapat semakin menyadarkan para penulis, peneliti, dan penyunting
bahasa untuk berbahasa Indonesia dengan benar.
Serapan asing
|
Arti dalam Bahasa Indonesia
|
Internal
|
Dalam negeri
|
Intern
|
Lingkungan sendiri
|
Interferensi
|
Pengaruh
|
Intens
|
Sangat kuat
|
Habitat
|
Lingkungan
|
Harmonis
|
Selaras
|
Emfatis
|
Penegasan
|
Edukasi
|
Pendidikan
|
Nasihat
|
Petuah
|
Radikal
|
Sangat keras
|
Rasial
|
Bersifat kesukuan
|
Seksual
|
Berhubungan dengan alat kelamin
|
Sinyalir
|
Perkiraan
|
Sintetis
|
Bersifat paduan
|
Suplesi
|
Penambahan
|
Suporter
|
Pendukung
|
Union
|
Perkumpulan
|
Unit
|
Satuan
|
Versus
|
Lawan
|
Violis
|
Pemain biola
|
Vivid
|
Semangat
|
Vulgar
|
Kurang ajar
|
Nah, contoh-contoh bentuk serapan di
depan hanyalah sebagian sangat kecil dari jumlah kata serapan asing yang
didaftar oleh J.S. Badudu dalam kamus yang disebutkan di depan. Keseluruhan
lema kata-kata serapan dalam kamus itu berjumlah 8.615. Para penulis, peneliti,
penyunting bahasa, diharapkan untuk mencermati kamus tersebut, supaya tidak
cenderung verbalistis dalam memerantikan bentuk-bentuk kebahasaan.
Bentuk-bentuk serapan asing itu memang boleh digunakan, sejauh memang
pemerantiannya tepat. Lagi pula, dengan pemahaman dan pemakaian bentuk-bentuk
serapan asing yang demikian ini, orang tidak akan semaunya saja menggunakan
bentuk-bentuk asing tersebut dalam karang-mengarang dan tulis-menulis. Pendek
kata, bentuk-bentuk asing tersebut memang dapat digunakan secara leluasa,
sejauh memang sudah benar-benar diserap ke dalam bahasa Indonesia.
17. Bentuk Mubadzir
Di dalam linguistik, gejala
pemakaian kata-kata yang cenderung berlebihan dan tidak sepenuhnya diperlukan
demikian ini lazim disebut sebagai gejala pleonasme. Dalam konteks penerapan
ekonomi kata, seseungguhnya bentuk-bentuk yang bersifat “redundant” atau “verbose”
demikian inilah yang harus dibenahi. Jadi, jangan justru prinsip ekonomi kata
itu dikenakan pada bentuk-bentuk idiomatis dan pada ungkapan-ungkapan standar
seperti yang selama ini banyak dilakukan orang. Untuk memudahkan dan membantu
pembaca dalam memisahkan antara bentuk-bentuk yang mubadzir dan bentuk-bentuk
yang tidak mubadzir, silakan cermati daftar kata berikut ini.
Kata mubadzir
|
Kata seharusnya
|
Sangat sempurna
|
Sempurna
|
Sangat sempurna sekali
|
Sempurna
|
Merencanakan akan
|
Merencanakan
|
Berencana akan
|
Berencana
|
Diperuntukkan bagi
|
Diperuntukkan/bagi
|
Ditujukan untuk
|
Ditujukan/untuk
|
Dimaksudkan untuk
|
Dimaksudkan/untuk
|
Menanyakan pertanyaan
|
Menanyakan
|
Memberikan berita
|
Memberitakan
|
Terlampir bersama ini
|
Terlampir/bersama ini
|
Satu-satunya yang terbaik
|
Satu-satunya
|
Panas yang terik
|
Panas
|
Adalah merupakan
|
Adalah/merupakan
|
Disebabkan karena
|
Disebabkan oleh
|
Bertujuan untuk
|
Bertujuan/untuk
|
Tujuannya untuk
|
Tujuannya/untuk
|
Siang yang terik
|
Siang
|
Kurang lebih sekitar
|
Sekitar
|
Sangat besar sekali
|
Sangat besar/besar sekali
|
Terus meneruskan
|
Meneruskan
|
Terus melanjutkan
|
Melanjutkan
|
Bersama dengan
|
Bersama/dengan
|
Keputusan yang pasti
|
Keputusan
|
Selama jangka waktu
|
Selama
|
Diperkirakan sekitar
|
Diperkirakan/sekitar
|
Kurang lebih sekitar
|
Kurang lebih/sekitar
|
Prospek masa depan
|
Prospek
|
Berkumpul bersama dengan
|
Berkumpul
|
Publik umum
|
Publik
|
Anak daripada jendral
|
Anak jendral
|
Mundur ke belakang
|
Mundur/ke belakang
|
Maju ke depan
|
Maju/ke depan
|
Turun ke bawah
|
Turun/ke bawah
|
Naik ke atas
|
Naik/ke atas
|
Semata-mata hanya
|
Hanya/saja/semata-mata
|
Kebenaran yang jujur
|
Kebenaran
|
Pemanas air panas
|
Pemanas air
|
Menggabungkan menjadi satu
|
Menggabungkan
|
Menyatukan menjadi satu
|
Menyatukan
|
Keperluan yang diperlukan
|
Keperluan
|
Sumber asli
|
Sumber
|
Kembali pulang
|
Kembali/pulang
|
Tenggelam ke dalam
|
Tenggelam
|
Tenggelam ke dasar
|
Tenggelam
|
Bersatu bersama
|
Bersatu
|
Fakta kebenaran
|
Fakta/kebenaran
|
Pemusnahan total
|
Pemusnahan
|
18. Bentuk Baku-Tidak Baku
Bentuk kebahasaan yang baku tidak
sama dengan bentuk kebahasaan yang tidak baku di dalam pemakaiannya. Ketika
berhadapan dengan ketidaktahuan akan kebakuan dan ketidakbakuan itu, dapat
dilihat daftar kata tersebut untuk memudahkan dalam proses bekerja. Nah, selain
daftra kata yang disampaikan di bawah ini, anda juga diharapkan untuk berteman
akrab dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI). Ini satu-satunya kamus standar bahasa Indonesia yang sekarang
digunakan sebagai referensi terlengkap dalam praktik berbahasa Indonesia. Tentu
saja hal yang demikian ini tidak juga berarti bahawa Anda tidak boleh
menggunkan kamus-kamus bahasa Indonesia yang lainnya, tetapi dengan pemerantian
kamus yang lengkap dan standar tersebut, pilihan kata atau diksi Anda akan
sungguh-sungguh dapat dipercaya dan diandalkan.
Berikut pemakalah ambil satu contoh
kata baku dan kata tidak baku dari Abjad A hingga Z dalam buku Penyuntingan
Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang karya Kunjana Rahardi.
Bentuk baku
|
Bentuk tidak baku
|
Keterangan
|
Autentik
|
Otentik
|
Dapat dipercaya, tulen, asli
|
Bujet
|
Budget
|
Anggaran
|
Cacah jiwa
|
Cacahjiwa
|
Pemadatan penduduk
|
Donatur
|
Donator
|
Penyumbang tetap
|
Etiket
|
Etika
|
Sopan santun
|
Fundamental
|
Fundamen
|
Bersifat dasar, bersifat asas
|
Gender
|
Jender
|
Jenis kelamin
|
Hakikat
|
Hakekat
|
Asas, dasar, esensi
|
Intens
|
Intense
|
Hebat, kuat
|
Jail
|
Jahil
|
Suka berbuat usil
|
Karisma
|
Kharisma
|
Kualitas kepribadian individu
|
Legalisasi
|
Legalisir
|
Pengesahan
|
Material
|
Materiil
|
Bersifat materi
|
Nomine
|
Nominasi
|
Orang yang dicalonkan
|
Optimistis
|
Optimis
|
Bersifat optimis
|
Permukiman
|
Pemukiman
|
Wilayah bermukim
|
Qari
|
Qori’
|
Laki-laki pembaca Alquran
|
Rihat
|
Rehat
|
Istirahat
|
Sah
|
Syah
|
Diakui kebenarannya
|
Teknologi
|
Tehnologi
|
Ilmu pengetahuan terapan
|
Ujud
|
Ujub
|
Permintaan
|
Vla
|
Fla
|
Saus untuk puding
|
Waralaba
|
Wara laba
|
Bagi hasil sesuai kesepakatan
|
Xenofobia
|
Xenophobia
|
Was-was terhadap orang asing atau
seseuatu yang belum dikenal
|
Yoghurt
|
Yoghurd
|
Susu yang diproses menjadi susu asam
(untuk minuman)
|
Zaman
|
Jaman
|
Jangka waktu yang panjang atau pendek yang
menandai sesuatu
|
DAFTAR PUSTAKA
Kamus
Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga. Jakarta: Pusat bahasa. 2008
KING CASINO, LLC GIVES A $100 FREE BET
BalasHapusKING CASINO, LLC herzamanindir.com/ GIVES wooricasinos.info A 1xbet app $100 FREE gri-go.com BET to casinosites.one try. Visit us today and receive a $100 FREE BET! Sign up at our new site!