Rabu, 13 April 2016

MEMAHAMI PERANTI PILIHAN KATA (Kelompok 7)



Makalah Memahami Peranti Pilihan Kata
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Penyuntingan
Dosen Prof. Dr. Jumadi, M.Pd. 


Oleh Kelompok 7
Silvia Ronauli S            NIM A1B113236
Rika Marsela                NIM A1B113216
Vidia Oktabelasari       NIM A1B113054



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2016





BAB II
PEMBAHASAN

Peranti Pilihan Kata

1.     Makna Denotatif         
            Peranti pilihan kata atau diksi yang pertama-tama harus dikuasai oleh siapa pun yang berkecimpung dalam hal-ikwal tulis-menulis atau karang-mengarang adalah masalah makna denotasi. Makna denotasi itu lazimnya hadir lantaran tidak adanya makna tambahan  pada sebuah kata. Jadi, makna denotasi itu, sesungguhnya menunjuk pada makna yang sebenarnya, bukan makna yang sifatnya kiasan, dan bukan pula makna yang sifatnya kontekstual. Jadi dapat ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan denotasi adalah makna yang tidak mengandung tambahan makna atau perasaan tambahan sedikit pun. Menafsirkan makna denotasi juga tidak perlu memperhitungkan konteks situasi pemakaiannya. Itulah kenapa dikatakan bahwa makna denotasi bukanlah makna kontekstual, tetapi cenderung konseptual. Adapun sebutan-sebutan lain yang juga menunjuk pada makna denotasi itu adalah sebagai berikut: makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proporsional. Dalam tulis-menulis atau karang-mengarang ilmiah, bentuk denotatif yang demikian ini memang banyak digunakan. Alasannya, tulisan atau karangan ilmiah lazimnya banyak bersentuhan dengan segala hal-ikhwal yang sifatnya objektif, tidak subjektif, sesuai dengan kata dan fakta yang sebenarnya ada. Jadi, dalam karya ilmiah sesungguhnya hanya sedikit sekali tersedia ruang yang dapat digunakan untuk bermain asosiasi, bermain konteks, bermain konotasi. Nah, ternyata bukan saja karya atau tulisan ilmiah yang dekat sekali dengan makna denotatif itu. Berita-berita lempang yang terdapat di media massa, yang semuanya sangat berdekatan dengan perilah data dan fakta yang sebenarnya itu, hampir pasti juga menggunakan peranti-peranti diksi yang disebut sebagai peranti denotasi. Berkenaan dengan penjelasan di atas itu, marilah kita lihat contoh pemakaian berikut ini,
1.      Kursi-kursi paling depan di kelasku ditempati oleh anak-anak perempuan.
2.      Orang yang sudah dewasa dan matang akan selalu berperilaku dengan penuh kebijaksanaan.
            Nah, dapat dilihat dengan jelas, bahwa bentuk “kursi-kursi” dan betuk “kebijaksanaan” yang ada pada kalimat-kalimat di atas itu, semuanya menunjuk pada makna sebenarnya. Kata “kursi” dalam kalimat itu tentu saja selalu akan dimaknai sebagai “tempat duduk”. Adapun bentuk “kebijaksanaan” selalu akan menunjuk pada “perilaku” atau “tindakan” yang bersifat bijaksana. Dalam pemakaian bahasa Indonesia untuk karang-mengarang, bentuk-bentuk yang sifatnya denotatif, bentuk-bentuk yang menunjuk pada makna sesungguhnya demikian ini, banyak digunakan dalam tulisan-tulisan atau karangan-karangan yang sifatnya faktawi atau yang berdasarkan data sesungguhnya. Kata-kata seperti yang ditunjukkan di depan itu, harus semuanya digunakan untuk menunjukkan makna yang sifatnya konseptual, bukan makna yang sifatnya kontekstual. Bentuk-bentuk kebahasaan seperti disebutkan di atas itu dipakai untuk menunjukkan maksud-maksud yang sifatnya tidak asosiatif , tetapi maksud-maksud yang berdasar pada data dan fakta yang sebenarnya.
2.     Makna Konotatif
            Sangat berbeda dengan makna denotasi atau makna konseptual yang sudah disampaikan di bagian depan tadi, makna konotatif selalu bersifat  asosiatif. Artinya pemaknaan sebuah bentuk kebahasaan harus dikaitkan dengan asosiasi-asosiasi tertentu yang dimungkinkan hadir di dalam proses pemaknaan itu. Kehadiran sebuah bentuk kebahasaan, sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteksnya. Maka, makna konotatif itu sering disebut juga sebagai makna kontekstual. Jadi, sebuah bentuk kebahasaan akan dapat diartikan berbeda atau tidak sama, karena hadir pada konteks atau lingkungan akusai yang tidak sama. Jadi sekali lagi harus ditegaskan, bahwa bentuk kebahasaan yang demikian ini harus dikaitkan dengan asosiasi-asosiasi tertentu, tidak dapat diartikan begitu saja sesuai dengan wujud kata atau wujud frasanya. Di dalam masyarakat yang demikian ini juga dikenal banyak makna asosiatif, makna konotatif, atau makna yang sifatnya kontekstual. Adapun contoh dari bentuk-bentuk kebahasaan yang harus dimaknai secara kontekstual di dalam bahasa Indonesia itu dapat ditunjukkan sebagai berikut.
1.      Pemilu legislatif yang lazimnya digunakan untuk memperebutkan kursi-kursi parlemen baru saja berlangsung.
2.      Mahasiswa veteran itu baru saja datang kepada dosen senior itu untuk meminta kebijaksanaan bagi nilai ujian akhirnya.

            Nah, dengan membandingkan bentuk “kursi” pada kalimat di atas itu dengan bentuk “kursi” pada kalimat yang di bagian awal sudah disampaikan tadi, akan sangat jelas bahwa “kursi” pada kalimat ini tidak bermakna “tempat duduk” tetapi bermakna “kekuasaan” atau mungkin pula dapat dimaknai sebagai “kesempatan untuk berkuasa”. Dari mana makna yang demikian itu dihadirkan? Jawabnya adalah dengan cara mengasosiasikan pada konteks kalimatnya secara keseluruhan. Atau, dapat pula dikatakan, makna yang demikian itu dihadirkan dari konteks situasinya serta hal-hal lain yang mingkin sekali bertali-temali. Marilah sekarang kita cermati bentuk kebahasaan yang kedua, yakin kata “kebijaksanaan”. Bentuk kebahasaan ini jelas memiliki makna yang sangat berbeda pada kalimat yang terakhir di atas itu dengan kalimat yang telah ditampilkan sebelumnya. Pada kalimat yang pertama ditunjukkan tadi, bermakna “perilaku” atau “tindakan”, sedangkan “kebijaksanaa” pada kalimat yang kedua bermakna “kemurahan”, dalam hal ini adalah kemurahan dalam hal nilai ujian akhir.
3.     Makna Bersinonim
            Peranti diksi atau pilihan kata yang selanjutnya, yang sangat penting dikuasai oleh para peneliti, para penulis, dan para penyunting bahasa adalah ihwal sinonimi. Di dalam banyak literatur linguistik, juga buku-buku tata bahasa di masa lampau, didapatkan bahwa sebenarnya sinonim itu dapat dengan mudah dipahami sebagai persamaan makna kata. Artinya pula, bentuk yang bersinonim itu sebenarnya dapat menunjuk pada kata-kata yang mungkin sekali, berbeda bentuknya, berbeda ejaannya, berbeda pengucapannya, berbeda bentuk ortografisnya, tetapi memiliki makna yang sejajar, memiliki makna yang sepadan, atau memiliki makna yang serupa. Maka, kata yang bersinonim juga dapat berarti kata yang bermakna sejenis, bermakna sepadan, bermakna sejajar, bermakna serumpun, dan memiliki arti yang sama. Memang sejumlah linguis tidak dapat menyetujui keberadaan entitas sinonim, karena dalam pemahaman mereka, ikon atau simbol kebahasaan yang tidak sama atau berbeda, pasti digunakan untuk menandai makna kebahasaan yang juga tidak sama atau berbeda. Artinya pula, dalam pandangan mereka, tidak mungkin ada kata yang benar-benar sama. Dengan secara ekstrem kemudian dapat dikatakan pula, bahwa sesungguhnya tidak pernah ada kata atau frasa yang maknanya persis sama. Akan tetapi, banyak pula ahli bahasa yang dapat menyetujui keberadaan kata-kata atau frasa-frasa bersinonim. Dalam pemahaman mereka, sebuah bentuk kebahasaan akan dikatakan bersinonim apabila memiliki makna yang sepadan, sejajar, sejenis, jadi makna itu tidak harus selalu persis sama. Berkenaan dengan ini, kita ambil saja contoh, kata “melihat”, “menatap”, “menonton”, “melirik”, “menyaksikan”, “mengawasi”. Sekalipun kita mengerti bahwa kata-kata di atas itu tidak memiliki makna yang persis sama, masing-masing memilki kesamaan raut atau fitur makna. Kesamaannya adalah bahwa semuanya memerantikan indera manusia yang disebut sebagai “mata”. Hanya saja, mata itu diperantikan dengan gradasi kelebaran yang tidak sama sehingga lahirlah kata-kata yang bersinonim itu. Mari kita ambil contoh, yang lainnya, yakni: “memukul”, “menampar”, “menempeleng”, “menghantam”. Empat bentuk kebahasaan itu dari sisi wujudnya jelas sekali tidak sama. Akan tetapi, semuanya dapat dipersamakan atau disinonimkan, karena sesungguhnya masing-masing memerantikan hal yang sama, yakni “tangan” manusia. Adapun yang membedakan adalah “arah gerakan”, dan mungkin juga bentuk atau wujud dari kepalan tangan yang digunakannya itu. Silakan dicermati pula kata-kata berikut ini: “mati”, “tewas”, “gugur”, “wafat”, “meninggal”, dan “tutup usia”. Bentuk-bentuk kebahasaan di atas itu juga diyakini merupakan sinonim karena masing-masing menunjukkan fitur atau raut kebahasaan yang sama, yakni ihwal “hilangnya nyawa”, makhluk hidup yang bernyawa. Nah, para penyunting bahasa, para peneliti, dan para penulis umumnya harus benar-benar cermat dengan kata-kata yang bersinonim atau sama arti yang demikian ini.
4.     Kata Antonim
            Berbeda dengan yang disebutkan di depan, kata-kata berantonim menunjukkan kata-kata yang memiliki makna yang tidak sama. Jadi memang sangat tidak sama dengan kata-kata bersinonim yang menunjuk pada kata-kata atau frasa-frasa yang memiliki makna yang sama, serupa, sejalan, atau sejenis, bentuk-bentuk antonim menunjuk makna yang berlain. Rahardi (2007: 116-118) menunjukkan bahwa sebuah bentuk kebahasaan akan dapat dikatakan berantonim kalau bentuk-bentuk kebahasaan itu memiliki relasi antar makna yang wujud logisnya berbeda atau bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, seperti bentuk “benci” dan “cinta”, bentuk “panas” dan “dingin” bentuk “kaya” dan “miskin”. Nah, dalam kerangka penyuntingan bahasa untuk tulis-menulis atau karang-mengarang, wujud-wujud antonimi seperti ditunjukkan berikut ini dapat dipertimbangkan.
1.      Pertama adalah antonimi jenis kembar.
            Ini menunjuk pada perbedaan di antara dua entitas kebahasaan, misalnya saja “jantan” dan “betina”, “hidup” dan “mati”, “pria” dan “wanita” serta “bayi” dan “dewasa. Ciri yang mendasar dari kehadiran antonimi yang bersifat kembar atau “dual” yang demikian ini adalah bahwa kehadiran entitas yang satu pasti akan meniadakan entitas kebahasaan yang satunya lagi. Dengan perkataan lain, penyangkalan terhadap entitas kebahasaan yang satu, sesungguhnya akan menegaskan keberadaan atau eksistensi bagi entitas kebahasaan yang satunya lagi.
2.      Kedua adalah antonimi bersifat jamak atau plural.
            Pakar bahasa tertentu menyebutnya sebagai antonimi yang berciri majemuk. Adapun yang menjadi ciri pokok dari antonimi jenis jamak atau majemuk ini adalah bahwa penegasan  terhadap anggota tertentu, akan mencakup penyangkalan atas setiap anggota lainnya secara terpisah. Nah, antonimi yang demikian ini lazimnya sangat berkaitan dengan anggota-anggota atau hiponimi dari sebuah kelas, misalnya kelas “logam”, kelas “tumbuhan”, kelas “buah-buahan”, atau kelas-kelas lainnya. Jadi, dapat ditegaskan pula bahwa antonimi jenis majemuk ini sesungguhnya menunjuk pada penyangkalan-penyangkalan atas anggota-anggota dari kelas-kelas atau kelompok-kelompok antonimi jensi kembar.
3.      Ketiga adalah antonimi yang bersifat gradual.
            Adapun yang dimaksud antonimi gradual adalah antonimi yang merupakan penyimpangan dari antonimi yang bersifat dual atau kembar seperti yang sudah disebutkan di bagian depan. Kalu di dalam antonimi jenis kembar atau dual terdapat dikotomi antara “kaya” dan “miskin”, di dalam antonimi yang bersifat gradual terdapat entitas “setengah kaya”. Beberapa orang mungkin akan mengatakannya sebagai “lumayan kaya” atau agak “kaya”. Demikian pula di antara dikotomi “bodoh” dan “pintar” atau “pandai” terdapat entitas “setengah pintar” dan “agak pintar”, atau “agak pandai”. Jadi variasi-variasi yang cerdas terdapat entitas-entitas antonimi yang bersifat gradual demikian ini juga kiranya akan sangat penting diketahui oleh para penulis, para peneliti, dan para penyunting bahasa.
4.      Jenis antonimi yang keempat adalah antonimi jenis relasional.
            Adapun yang dimaksud antonimi jenis relasional adalah bahwa bentuk-bentuk kebahasaan yang dianggap berantonim itu memiliki relasi yang menjadi kebalikan. Antara “guru” dan “murid” misalnya saja, terdapat jenis antonimi yang bersifat relasional itu. Demikian pula antara “ibu” atau “ayah” dan “anak-anak” terdapat antonimi yang bersifat relasional itu. Jika Anda sebagai penulis atau penyunting bahasa sangat kaya dengan contoh-contoh antonimi relasional demikian ini, dipastikan karangan atau tulisan Anda akan menjadi sangat baik, menarik, dan hidup.
5. Kata Berasa
            Bahasa juga sesungguhnya mempunyai citarasa. Citarasa bahasa yang demikian itu akan banyak ditentukan oleh tingkat kepiawaian dan pengalaman dari si penutur atau si penulisnya dalam meramu bumbu-bumbu masakannya dalam aktivitas berbahasa. Bentuk-bentuk kebahasaan masing-masing memiliki nilai rasa yang tidak sama. Semuanya adalah bentuk kebahasaan yang boleh digunakan, tetapi harus digunakan secara tepat, cermat, dan harus sesuai dengan makna. Jadi, setiap bentuk kebahasaan yang ditunjukkan di atas semuanya akan mengemban “nilai rasa”, dan seorang penulis yang baik harus benar-benar paham dengan nilai-nilai rasa yang tidak sama demikian ini.
6. Kata Konkret
            Kata-kata konkret adalah kata-kata yang menunjuk pada objek yang dapat dipilih, didengar, dirasakan, diraba, atau dicium.  Dengan kata lain, kata konkret itu sesungguhnya adalah kata yang dapat diindra dengan alat-alat indra manusia. Jika Anda sebagai orang yang selalu bergelut dengan segala seluk-beluk bahasa, senantiasa rajin dalam mencatat kata-kata yang sifatnya konkret di dalam keseharian,Anda pasti akan menjadi orang yang sangat kaya dengan kata-kata yang dapat anda perantikan ketika harus membuat tulisan atau karangan. Hal yang sama ketika Anda harus menyunting sebuah karya ilmiah dan tulisan-tulisan lainnya. Para penyunting bahasa pasti sangat perlu untuk melakukan aktivitas tersebut supaya karya atau tulisan yang disuntingnya benar-benar kaya akan variasi kata. Contoh kata konkret: rumah, computer, mobil, buku.
7. Kata Abstrak
            Kata abstrak adalah sebuah kata yang memiliki rujukan berupa konsep atau pengertian. Sesuai dengan namanya kata abstrak lebih memerlukan pendalaman pemahaman, karena sifatnya yang tidak nyata. Contoh kata abstrak: kaya, miskin, kesenian, kerajinan, demokrasi, kemakmuran. Kata-kata abstrak sering digunakan untuk mengungkapkan gagasan atau ide-ide yang cenderung lebih rumit. Kata-kata abstrak juga cenderung lebih sukar dipahami maksud dan maknanya.
8. Kata Umum
            Kata umum adalah kata – kata yang memiliki makna dan cakupan pemakaian yang lebih luas. Kata – kata yang termasuk dalam kata umum disebut dengan hipernim. contoh kata umum: membawa, melihat, unggas, buah-buahan, hewan ternak. Siapa pun yang berkecimpung di dalam dunia tulis-menulis harus benar-benar memahami persoalan kata umum ini.
9. Kata Khusus
            Kata khusus adalah kata – kata yang ruang lingkup dan cakupan maknanya lebih sempit, atau disebut juga dengan hiponim. Contoh: menjinjing, memikul, jeruk, apel, mangga, memandang, menatap, ayam, sapi, kambing. Dengan kata lain, sesungguhnya kata-kata khusus merupakan jabaran dari kata-kata umum.
10. Kata Lugas
            Dalam karang-mengarang atau tulis menulis,lazimnya kata-kata yang sifatnya lugas itu menunjuk pada kata yang bersifat langsung dalam menggambarkan konssep kebahasaan. Kata-kata lugas itu berarti kata-kata yang bersifat tembak langsung (to the point), tegas,lurus,apa adanya, dan merupakan kata-kata yang cenderung bersahaja. Kata-kata yang lugas juga merupakan kata-kata yang ringkas,tidak merupakan frasa panjang,dan tidak mendayu-dayu sifatnya dalam menggambarkan sebuah konsep. Kunjana rahardi hendak menegaskan bahwa semuanya ini kegunaanya sangat ditentukan oleh maksud atau tujuan dari pemanfaatan bentuk kebahasaan itu. Kita ambil saja contoh ‘relokasi’ yang mungkin sekali banyak dianggap sebagai kata yang tidak lugas karena fakta lugasnya adalah ‘penggusuran’.
11. Penyempitan Makna
            Masih dalam kerangka pilihan kata atau diksi, perlu disampaikan pula disini ihwal penyempitan makna kata. Sebuah kata atau entitas kebahasaan yang lain dikatakan akan mengalami penyempitan makna apabila dalam kurun waktu tertentu maknanya bergeser dari semula yang sifatnya luas kedalam makna yang cenderung lebih sempit atau terbatas. Pemahaman ihwal penyempitan makna kata yang demikian ini juga sangat penting diketahui dan diikuti oleh para penulis, para peneliti,dan para penyunting bahasa, upaya mereka dapat dengan tepat memerantikan sebuah bentuk kebahasaan sesuai dengan lingkungan dan perkembangan zamannya.Kita ambil saja contoh kata ‘Pendeta’ yang semula dimaknai ‘orang berilmu’ yang biasanya digambarkan dengan sosok yang tua kini ternyata berubah dan banyak digunakan untuk menyebut seorang ‘pengkhotbah’ dalam agama Kristen. Nah, sekarang akan dikembangkan sendiri pemahaman ihwal penyempitan makna demikian ini untuk semakin memahami diksi atau pilihan kata dalam karang-mengarang atau tulis-menulis. Semakin anda menguasai banyak hal yang bertali-temali dengan persoalan diksi atau pilihan kata,khususnya yang berkaitan dengan ihwal penyempitan makna bentuk-bentuk kebahasaan yang demikian ini,dipastikan bahwa Anda akan menjadi sosok yang semakin pintar dalam melakukan pekerjaan tulis-menulis atau karang-mengarang.
12. Perluasan Makna
            Pemahaman ihwal perluasan makna kata juga sangat penting dan krusial dilakukan oleh para penyunting bahasa. Demikian pula para penulis dan para peneliti, harus benar-benar paham dengan masalah perluasan makna yang demikian ini. Suatu kata akan dapat dikatakan mengalami perluasan makna apabila dalam kurun waktu tertentu maknanya dapat bergeser dari yang semula sempit kemakna yang jauh lebih luas dan variatif. Selain itu seiring dengan makna perluasan makna kata itu pula, khalayak pemakaian juga pasti akan meningkat dari semula yang hanya kalangan terbatas, tidak mencakup semua lapisan masyarakat,lalu menjadi lebih luas bahkan sangat luas, hingga mencapai banyak kalangan dan lapisan.Sebagai contoh untuk sekedar ilustrasi, pada masa lalu kata ‘ibu’ banyak didefinisikan sebagai sosok wanita yang melahirkan atau mungkin wanita yang pernah melahirkan. Akan tetapi sekarang, kata ‘ibu’ sudah menjadi kata yang umumuntuk wanita yang sudah dewasa,sekalipun ia belum pernah melahirkan seorang anak.
13. Kata-kata Aktif
            Pertama-tama harus dipahami, bahwa kata-kata aktif sesungguhnya menunjuk pada kata-kata yang cenderung banyak digunakan oleh banyak kalangan. Dalam pemakaian bahasa. Bentuk-bentuk kebahasaan yang pada awalnya bersifat statis,tidak aktif,dapat berkembang dan berubah menjadi kata-kata yang dinamis dan bersifat sangat aktif. Nah,sebuah bentuk kebahasaan memang dapat dibuat aktif dengan cara pembuat ‘inovasi’. Atau dengan membuat penemuan dari semula yang belum pernah ada menjadi benar-benar ada. Akan tetapi,suatu bentuk kebahasaan dapat pula dibuat aktif dengan cara menyingkap atau mengusik kembali bentuk kebahasaan yang sesungguhnya semua sudah pernah ada, tetapi karena hal-hal tertentu,bentuk kebahasaan yang demikian itu tidak pernah digunakan lagi secara aktif. Jadi, bentuk-bentuk kebahasaan yang demikian itu juga harus dibangkitkan dan dihidupkan dalam rangka  membentuk kata-kata yang berciri aktif dan produktif.  Demikian pula bentuk-bentuk kebahasaan yang didengung-dengungkan oleh media massa baik cetak maupun elektronik, cenderung akan berubah menjadi bentuk kebahasaan yang aktif  sekalipun semula tidak terlampau dikenal oleh publik. Berkaitan dengan hal ini coba kita lihat saja kehadiran kata ‘terkini’ yang didalam media massa tertentu digunakan dengan tanpa henti. Saya sebagai linguis pernah pula menyampaikan masukan tentang bentuk kebahasaan yang digunakan secara keliru tersebut. Akan tetapi, apa daya bentuk kebahasaan  itu muncul terus hingga saat ini. Sekalipun bentuk ‘terkini’ tersebut jelas-jelas keliru dari sisi kebahasaan  tetapi karena banyak digunakan oleh mdia massa, yang sudah barang tertentu dampak sosialnya sangat luas, jadilah bentuk kebahasaan yang tidak benar itu menjadi bentuk kebahasaan yang aktif.

14. Bentuk-bentuk Idiomatis
            Para penulis,peneliti, dan penyunting bahasa harus benar-benar memahami bahwa bentuk idiomatis itu memang ada pada semua bahasa. Bentuk idiomatis adalah bentuk-bentuk yang sudah merupakan senyawa dari cenderung merupakan ungkapan baku dan standart. Karena bentuk idiomatis demikian itu bersifat senyawa baku dan standart. Hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya sangat dekat dan lekat. Kedekatan dan kelekatan antar unsur demikian itulah yang menjadikan pemisahan,pengurangan,dan penambahasan yang tidak dapat dilakukan terhadap bentuk-bentuk idiomatis.
15. Ungkapan Standar
            Membedakan bentuk-bentuk idiomatis yang sering disebut sebagai bentuk-bentuk senyawa, dan ungkapan-ungkapan kebahasaan yang sifatnya khusus dan khas, seperti yang telah diteliti dan dibukukan dalam bentuk kamus oleh J.S. Badudu. Kamus Ungkapan tersebut telah telah diterbitkan oleh Penerbit Kompas Jakarta pada buku tersebut Kunjana Rahardi menyampaikan contoh tersebut. Selanjutnya,  pembaca, para peneliti, para penulis, dan para penyunting bahasa, dipersilakan untuk memanfaatkan buku aslinya secara langsung supaya dapat memilki pemahaman dan penguasaan ungkapan yang lebih baik.

Ungkapan
Makna

Mengadu lidah
Bertengkar
Mengadu nasib
Mencoba peruntungan
Masuk ke peraduannya
Terbenam
Batang air
Sungai
Tanah air
Negara
Air muka
Wajah
Titik air liurku
Timbul selera
Berkering air liur
Sia-sia belaka
Kurang ajar
Tidak sopan
Salah ajar
Salah didik
Kehilangan akal
Bingung
Lautan budi tepian akal
Bijaksana
Panang akal
Suka berpikir
Akal kancil
Kecerdikan
Alas pengetahuan
Pengetahuan dasar
Anak akuan
Anak angkat
Tidak ambil pusing
Tidak peduli
Berambil-ambilan
Kawin-mengawini
Ambil marah
Gusar
Tidak mengambil berat
Tidak terlalu mengacuhkan
Anak uang
Bunga uang
Anak dagang
Anak perantau
Anak rambut
Rambut halus
Berlantas angan
Berbuat sesuka hati
Makan angin
Menghirup udara segar
Menggergaji angin
Berjalan zigzag
Terangin-angin
Didesasdesuskan
Negeri atas angin
Negeri di sebelah barat Indonesia
Mengeluarkan angin
Kentut
Kereta angin
Sepeda
Menanti angin
Menanti kesempatan
Angkat topi
Memuji
Angkat bicara
Berpidato
Surat angkatan
Beslit
Wang antaran
Mas kawin
Bunga api
Percikan
Bermain api
Bermain hal yang membahayakan
Kembali pada asal
Mati
Asam garam
Pengalaman
Mati-mati ayam
Ayan
Tidur-tidur ayam
Belum tidur benar

            Nah, dari contoh-contoh yang disampaikannya tersebut, kelihatan sekali bahwa ungkapan-ungkapan di atas hampir semuanya mengandung makna kiasan. Ungkapan-ungkapan yang disampaikan di sini selalu mengandung makna yang sifatnya kiasan. J. S. Badudu menyebutkan, bahwa dalam bahasa Indonesia, jumlah ungkapan-ungkapan itu lebih-kurang adalah 3.600 buah. Jadi, kalau para penyunting naskah menguasai bentuk-bentuk ungkapan yang semuanya bermakna kiasan demikian ini, dipastikan bahwa tulisan atau karya yang disuntingnya akan benar-benar menjadi karya yang sangat bagus.
16. Bentuk Serapan Asing
            Menempatkan bentuk-bentuk serapan asing sebagai salah satu peranti penting dalam penyuntingan bahasa untuk tulis-menulis dan karang-mengarang. Tujuannya adalah, agar para penulis, para peneliti, para penyunting bahasa diingatkan untuk selalu berusaha menggunakan kata-kata yang memang sudah ada di dalam bahasa Indonesia, ketika berhadapan dengan bentuk-bentuk asing. Kehadiran bentuk-bentuk dalam berbahasa asing yang terus semakin menyeruak, berpotensi untuk semakin mengacaukan pemakaian bahasa Indonesia kalau tidak disikapi dengan benar-benar baik. Nah, beberapa contoh bentuk serapan asing yang diambil dari Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Kompas Jakarta pada 2005 berikut ini diharapkan dapat semakin menyadarkan para penulis, peneliti, dan penyunting bahasa untuk berbahasa Indonesia dengan benar.
Serapan asing

Arti dalam Bahasa Indonesia
Internal
Dalam negeri
Intern
Lingkungan sendiri
Interferensi
Pengaruh
Intens
Sangat kuat
Habitat
Lingkungan
Harmonis
Selaras
Emfatis
Penegasan
Edukasi
Pendidikan
Nasihat
Petuah
Radikal
Sangat keras
Rasial
Bersifat kesukuan
Seksual
Berhubungan dengan alat kelamin
Sinyalir
Perkiraan
Sintetis
Bersifat paduan
Suplesi
Penambahan
Suporter
Pendukung
Union
Perkumpulan
Unit
Satuan
Versus
Lawan
Violis
Pemain biola
Vivid
Semangat
Vulgar
Kurang ajar

            Nah, contoh-contoh bentuk serapan di depan hanyalah sebagian sangat kecil dari jumlah kata serapan asing yang didaftar oleh J.S. Badudu dalam kamus yang disebutkan di depan. Keseluruhan lema kata-kata serapan dalam kamus itu berjumlah 8.615. Para penulis, peneliti, penyunting bahasa, diharapkan untuk mencermati kamus tersebut, supaya tidak cenderung verbalistis dalam memerantikan bentuk-bentuk kebahasaan. Bentuk-bentuk serapan asing itu memang boleh digunakan, sejauh memang pemerantiannya tepat. Lagi pula, dengan pemahaman dan pemakaian bentuk-bentuk serapan asing yang demikian ini, orang tidak akan semaunya saja menggunakan bentuk-bentuk asing tersebut dalam karang-mengarang dan tulis-menulis. Pendek kata, bentuk-bentuk asing tersebut memang dapat digunakan secara leluasa, sejauh memang sudah benar-benar diserap ke dalam bahasa Indonesia.
17. Bentuk Mubadzir
            Di dalam linguistik, gejala pemakaian kata-kata yang cenderung berlebihan dan tidak sepenuhnya diperlukan demikian ini lazim disebut sebagai gejala pleonasme. Dalam konteks penerapan ekonomi kata, seseungguhnya bentuk-bentuk yang bersifat “redundant” atau “verbose” demikian inilah yang harus dibenahi. Jadi, jangan justru prinsip ekonomi kata itu dikenakan pada bentuk-bentuk idiomatis dan pada ungkapan-ungkapan standar seperti yang selama ini banyak dilakukan orang. Untuk memudahkan dan membantu pembaca dalam memisahkan antara bentuk-bentuk yang mubadzir dan bentuk-bentuk yang tidak mubadzir, silakan cermati daftar kata berikut ini.

Kata mubadzir

Kata seharusnya
Sangat sempurna
Sempurna
Sangat sempurna sekali
Sempurna
Merencanakan akan
Merencanakan
Berencana akan
Berencana
Diperuntukkan bagi
Diperuntukkan/bagi
Ditujukan untuk
Ditujukan/untuk
Dimaksudkan untuk
Dimaksudkan/untuk
Menanyakan pertanyaan
Menanyakan
Memberikan berita
Memberitakan
Terlampir bersama ini
Terlampir/bersama ini
Satu-satunya yang terbaik
Satu-satunya
Panas yang terik
Panas
Adalah merupakan
Adalah/merupakan
Disebabkan karena
Disebabkan oleh
Bertujuan untuk
Bertujuan/untuk
Tujuannya untuk
Tujuannya/untuk
Siang yang terik
Siang
Kurang lebih sekitar
Sekitar
Sangat besar sekali
Sangat besar/besar sekali
Terus meneruskan
Meneruskan
Terus melanjutkan
Melanjutkan
Bersama dengan
Bersama/dengan
Keputusan yang pasti
Keputusan
Selama jangka waktu
Selama
Diperkirakan sekitar
Diperkirakan/sekitar
Kurang lebih sekitar
Kurang lebih/sekitar
Prospek masa depan
Prospek
Berkumpul bersama dengan
Berkumpul
Publik umum
Publik
Anak daripada jendral
Anak jendral
Mundur ke belakang
Mundur/ke belakang
Maju ke depan
Maju/ke depan
Turun ke bawah
Turun/ke bawah
Naik ke atas
Naik/ke atas
Semata-mata hanya
Hanya/saja/semata-mata
Kebenaran yang jujur
Kebenaran
Pemanas air panas
Pemanas air
Menggabungkan menjadi satu
Menggabungkan
Menyatukan menjadi satu
Menyatukan
Keperluan yang diperlukan
Keperluan
Sumber asli
Sumber
Kembali pulang
Kembali/pulang
Tenggelam ke dalam
Tenggelam
Tenggelam ke dasar
Tenggelam
Bersatu bersama
Bersatu
Fakta kebenaran
Fakta/kebenaran
Pemusnahan total
Pemusnahan

18. Bentuk Baku-Tidak Baku       
            Bentuk kebahasaan yang baku tidak sama dengan bentuk kebahasaan yang tidak baku di dalam pemakaiannya. Ketika berhadapan dengan ketidaktahuan akan kebakuan dan ketidakbakuan itu, dapat dilihat daftar kata tersebut untuk memudahkan dalam proses bekerja. Nah, selain daftra kata yang disampaikan di bawah ini, anda juga diharapkan untuk berteman akrab dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ini satu-satunya kamus standar bahasa Indonesia yang sekarang digunakan sebagai referensi terlengkap dalam praktik berbahasa Indonesia. Tentu saja hal yang demikian ini tidak juga berarti bahawa Anda tidak boleh menggunkan kamus-kamus bahasa Indonesia yang lainnya, tetapi dengan pemerantian kamus yang lengkap dan standar tersebut, pilihan kata atau diksi Anda akan sungguh-sungguh dapat dipercaya dan diandalkan.
            Berikut pemakalah ambil satu contoh kata baku dan kata tidak baku dari Abjad A hingga Z dalam buku Penyuntingan Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang karya Kunjana Rahardi.
Bentuk baku
Bentuk tidak baku
Keterangan
Autentik
Otentik
Dapat dipercaya, tulen, asli
Bujet
Budget
Anggaran
Cacah jiwa
Cacahjiwa
Pemadatan penduduk
Donatur
Donator
Penyumbang tetap
Etiket
Etika
Sopan santun
Fundamental
Fundamen
Bersifat dasar, bersifat asas
Gender
Jender
Jenis kelamin
Hakikat
Hakekat
Asas, dasar, esensi
Intens
Intense
Hebat, kuat
Jail
Jahil
Suka berbuat usil
Karisma
Kharisma
Kualitas kepribadian individu
Legalisasi
Legalisir
Pengesahan
Material
Materiil
Bersifat materi
Nomine
Nominasi
Orang yang dicalonkan
Optimistis
Optimis
Bersifat optimis
Permukiman
Pemukiman
Wilayah bermukim
Qari
Qori’
Laki-laki pembaca Alquran
Rihat
Rehat
Istirahat
Sah
Syah
Diakui kebenarannya
Teknologi
Tehnologi
Ilmu pengetahuan terapan
Ujud
Ujub
Permintaan
Vla
Fla
Saus untuk puding
Waralaba
Wara laba
Bagi hasil sesuai kesepakatan
Xenofobia
Xenophobia
Was-was terhadap orang asing atau seseuatu yang belum dikenal
Yoghurt
Yoghurd
Susu yang diproses menjadi susu asam (untuk minuman)
Zaman
Jaman
 Jangka waktu yang panjang atau pendek yang menandai sesuatu









DAFTAR PUSTAKA

            Kunjana,Rahardi. 2009. Penyuntingan Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang. Jakarta: Erlangga.
            Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga. Jakarta: Pusat bahasa. 2008


1 komentar:

  1. KING CASINO, LLC GIVES A $100 FREE BET
    KING CASINO, LLC herzamanindir.com/ GIVES wooricasinos.info A 1xbet app $100 FREE gri-go.com BET to casinosites.one try. Visit us today and receive a $100 FREE BET! Sign up at our new site!

    BalasHapus